Bali- Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan meningkatkan penerapan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas, dari yang sebelumnya bersifat sukarela menjadi wajib. Langkah ini diambil sebagai upaya kongkret dalam menangani persoalan sampah plastik di Indonesia.
Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pihaknya akan mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab mengelola sampah kemasan dari produk mereka.
“Kami akan segera memanggil produsen-produsen untuk bertanggung jawab terkait dengan plastik yang kemudian beredar di masyarakat,” kata Hanif ketika ditemui di acara puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di kawasan Shelter Baruna, Pantai Kuta, Bali, Kamis, 5 Juni 2025.
Hanif menjelaskan bahwa di negara-negara maju, penerapan EPR sudah menjadi kewajiban hukum. Sementara di Indonesia, aturan ini masih bersifat sukarela. Oleh karena itu, KLH berencana mengubah kebijakan tersebut agar menjadi mandatory. “EPR ini di dunia maju, di dunia negara yang maju, sudah merupakan mandatory. Jadi kita masih voluntary, kita mau tingkatkan dari voluntary menjadi mandatory,” tuturnya.
Produsen nantinya diwajibkan untuk menarik kembali limbah plastik sebesar jumlah yang mereka hasilkan. “Artinya kalau kamu memproduksi 5 ton, maka 5 ton itu yang wajib kamu tangkap yang lepas dari produksi kamu. Itu langkah-langkah hukum yang akan kita terus lakukan,” kata Hanif.
Selain menekan tanggung jawab kepada produsen dalam negeri, pemerintah juga akan mendorong diskusi internasional terkait tanggung jawab negara produsen bahan plastik, terutama yang selama ini diekspor ke Indonesia.
“Kami juga ingin mendapat kompensasi, diskusi dengan negara-negara maju, penghasil biji plastik atau premium plastik yang sebagian besar kita impor,” kata hanif. “Kita juga akan minta tanggung jawabnya di dalam konferensi Plastik INC-5.2 di Jenewa, Agustus mendatang.”
Hanif menekankan bahwa sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, konsumsi plastik di Indonesia pasti sangat tinggi. Namun, menurut dia, permasalahan utama bukan pada jumlah plastik yang digunakan, melainkan bagaimana penanganan limbah setelah digunakan.
Sumber TEMPO