Menteri Lingkungan Hidup sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, mengungkapkan masih terbatasnya jumlah pengawas lingkungan hidup di Indonesia. Kondisi ini dinilai menimbulkan kesenjangan signifikan dalam pengawasan terhadap jutaan unit usaha di berbagai sektor.
“Saat ini kita hanya memiliki sekitar 1.100 pengawas lingkungan hidup. Jumlah ini jelas belum sebanding dengan kebutuhan untuk mengontrol pelaksanaan kualitas lingkungan di seluruh sektor usaha di Indonesia,” ujar Hanif dalam forum MINDIALOGUE: Korporasi Hebat, Alam Selamat, Kamis (28/8/2025).
Selain pengawas, jumlah penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) khusus bidang lingkungan juga masih terbatas, yakni sekitar 250 orang. Akibatnya, pengawasan terhadap kepatuhan korporasi dalam pengelolaan lingkungan belum bisa dilakukan secara maksimal.
Hanif menjelaskan, para pengawas saat ini harus mengawasi sekitar 5 juta unit usaha yang tercatat dalam sistem Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdalnet). “Ada gap besar antara jumlah unit usaha yang telah mendapat persetujuan lingkungan dengan ketersediaan SDM kita yang sangat terbatas,” jelasnya.
Ia menggambarkan situasi ini seperti sebuah ember bocor dengan banyak lubang. “Kalau air dimasukkan, menterinya harus menutup lubang yang mana lebih dulu? Kondisi ini membuat pengawasan berjalan tidak ideal,” tambah Hanif.
Menurutnya, KLH berupaya menutup kesenjangan tersebut dengan memperkuat strategi pengawasan, termasuk berdialog langsung dengan pelaku industri. Fokus utama saat ini adalah mengawasi sekitar 2 juta unit usaha dengan tingkat risiko menengah hingga tinggi. Sementara itu, sekitar 3 juta usaha lainnya berisiko rendah dan tidak memerlukan dokumen AMDAL maupun UKL-UPL.
“Dari total usaha yang wajib memiliki AMDAL dan UKL-UPL, jumlahnya lebih dari 2 juta. Jika dibagi dengan 1.100 pengawas, maka satu orang harus membina lebih dari 1.000 unit usaha. Kondisi ini jelas tidak realistis untuk dijalankan secara sempurna,” tegas Hanif.