Palemahan.com – Dampak perang tidak hanya meninggalkan duka bagi korban manusia, tetapi juga meninggalkan jejak kerusakan lingkungan yang panjang dan sulit dipulihkan. Dari pencemaran tanah, air, hingga hancurnya ekosistem, perang menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan hidup manusia maupun satwa liar.
Menurut data internasional, satu dari enam orang di dunia terdampak konflik pada 2025. Perang Rusia-Ukraina, konflik Israel-Hamas, hingga perang sipil di Sudan menunjukkan bahwa eskalasi kekerasan kini mencapai titik tertinggi sejak Perang Dunia II, dengan jumlah korban jiwa tertinggi dalam 28 tahun terakhir.
Lingkungan Jadi Korban Senyap Perang
Dampak perang terhadap lingkungan sering kali luput dari perhatian. Serangan roket, artileri, hingga ranjau darat mencemari tanah dan air, merusak hutan, serta membuat lahan pertanian tidak bisa digunakan kembali. Senjata kimia, polutan, hingga uranium terdeplesi meninggalkan warisan racun yang bertahan puluhan bahkan ratusan tahun.
Contoh nyata terlihat di Verdun, Prancis. Hingga satu abad setelah Perang Dunia II, kawasan yang dikenal sebagai Red Zone masih tidak bisa dihuni akibat bom tak meledak dan kontaminasi tanah.
Hal serupa terjadi di Kepulauan Solomon, tempat peninggalan bom Perang Dunia II masih menewaskan warga hingga kini. Sementara di laut, jutaan ton amunisi dan senjata kimia sisa perang dibuang begitu saja, terutama di perairan sekitar Inggris. Limbah ini sesekali terdampar di pantai atau bahkan meledak di bawah air.
Ancaman Ranjau Darat dan Perubahan Iklim
Ranjau darat menjadi salah satu ancaman paling berbahaya karena tetap aktif bertahun-tahun setelah perang berakhir. Tak hanya membunuh manusia dan hewan, ranjau juga membatasi akses lahan produktif masyarakat. Lebih parah lagi, fenomena iklim ekstrem seperti banjir dan gelombang panas dapat memicu ranjau atau amunisi lama meledak, sebagaimana terjadi di Timur Tengah.
Perang juga memicu eksploitasi sumber daya alam. Kayu, emas, hingga permata kerap dijadikan sumber dana untuk membeli senjata. PBB mencatat 40% konflik sipil antara 1946–2006 terkait langsung dengan perebutan sumber daya alam.
Perang dan Krisis Iklim Saling Memperburuk
Konflik bersenjata dan perubahan iklim memiliki hubungan dua arah. Perubahan iklim dapat memicu konflik akibat krisis air dan pangan, sementara perang memperburuk dampak iklim dengan menghancurkan ekosistem, meningkatkan emisi, dan menghambat adaptasi masyarakat.
Militer sendiri tercatat sebagai pengguna bahan bakar fosil terbesar, menyumbang sekitar 5,5% emisi global. Jika dihitung sebagai negara, sektor militer menjadi penghasil emisi terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, Amerika Serikat, dan India.
Menatap Ke Depan
Dampak perang tidak berhenti ketika senjata didiamkan. Kerusakan lingkungan yang ditinggalkan bisa bertahan lebih lama dari usia sebuah konflik. Dari hutan yang gundul, udara yang tercemar, hingga lautan yang dipenuhi limbah amunisi, semua menjadi ancaman nyata bagi generasi mendatang.
Melihat kondisi ini, para ahli menegaskan pentingnya memasukkan aspek lingkungan dalam agenda perdamaian dunia. Sebab, tanpa perlindungan lingkungan, perang hanya akan menyisakan luka yang lebih dalam bagi bumi dan seluruh penghuninya.
Sumber : theconversation