Jakarta – Peran aktif Non-Party Stakeholders (NPS) dinilai menjadi kunci dalam memperkuat transparansi aksi iklim Indonesia sekaligus mempercepat pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Keterlibatan NPS yang lebih luas juga diyakini akan meningkatkan kredibilitas tata kelola iklim nasional di tingkat internasional serta memperkokoh kolaborasi multipihak menghadapi perubahan iklim.
Hal itu mengemuka dalam Webinar Internasional bertema “Pelibatan Non-Party Stakeholders dalam Implementasi Transparansi Perubahan Iklim” yang digelar pada Jumat, 26 September 2025. Acara ini melibatkan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat, hingga mitra internasional dari negara-negara anggota Perjanjian Paris.
Deputi Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Ary Soedijanto, menegaskan pentingnya sinergi multipihak dalam pelaksanaan Enhanced Transparency Framework (ETF) sebagaimana diamanatkan Pasal 13 Perjanjian Paris.
“Indonesia menekankan pentingnya peran NPS dalam transparansi perubahan iklim sebagai salah satu pilar utama Perjanjian Paris. Implementasi ETF merupakan langkah strategis untuk mencapai target NDC dan memperkuat tata kelola iklim nasional yang kredibel di tingkat internasional,” tegas Ary.
Menurut Ary, NPS berperan penting dalam penyediaan data, pelaksanaan aksi mitigasi-adaptasi, serta peningkatan kesadaran publik. Kolaborasi bottom-up dari masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal diharapkan mampu menopang kebijakan dan program pemerintah (Party Stakeholders/PS).
Direktur Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi (MPV), Mitta Ratna Djuwita, menyoroti inisiatif nyata dari masyarakat dan akademisi.
“Terdapat inisiasi dari masyarakat untuk membangun Climate Transparency Hub (CTH), serta pembentukan Center of Excellence (CoE) oleh akademisi dan pakar. Inisiatif ini penting untuk menguatkan sinergi antara gerakan akar rumput dan program berbasis kebijakan,” ungkap Mitta.
Dari tingkat tapak, aktivis lokal Gede Sugiarta dan Sumino memaparkan aksi mitigasi, adaptasi, hingga Joint Mitigation and Adaptation (JAM) yang lahir dari inisiatif warga. Sementara itu, Suseno Amin dan Rolly Leatimea dari CoE dan CTH menekankan peran akademisi sebagai jembatan antara regulator dan pelaksana aksi iklim agar upaya di lapangan lebih terarah.
Aspek gender responsive juga menjadi sorotan. Dosen Universitas Padjadjaran, Budiawati Supangkat, menekankan bahwa perubahan iklim memperparah kerentanan sosial, termasuk krisis air bersih, keamanan pangan, dan kesenjangan gender.
“Pertimbangan gender harus dielaborasi dalam setiap program baik oleh PS maupun NPS agar aksi iklim lebih inklusif dan berkeadilan,” ujarnya.
Menutup acara, ditayangkan film pendek “AKAR” karya produser Ikbal Alexander yang menyoroti aksi komunitas di tujuh kota Indonesia, mulai dari urban farming di Wonosobo hingga konservasi mangrove di pesisir Maluku.
“Film ini menunjukkan bagaimana perempuan dan anak muda menjadi katalis sosial dalam perubahan lingkungan. Semua aksi terhubung seperti akar, menginspirasi masyarakat untuk turut beraksi demi Indonesia yang lebih hijau,” kata Ikbal.
Mitta menegaskan, di tengah berbagai tantangan, Indonesia harus memperkuat kerja sama jangka panjang, memperluas mekanisme koordinasi, serta memastikan keberlanjutan pembagian peran antar pihak.
“Sinergi PS dan NPS diharapkan menjadi fondasi kuat bagi implementasi aksi iklim yang transparan, terukur, dan berdampak nyata bagi masa depan bumi,” pungkasnya.
Berita ini disusun berdasarkan Siaran Pers Nomor: SR.245/HUMAS/KLH-BPLH/9/2025.